Senin, 30 Mei 2011

Definisi ied

Kata “Ied” menurut bahasa Arab menunjukkan sesuatu yang kembali berulang-ulang, baik dari sisi waktu atau tempatnya. Kata ini berasal dari kata “Al ‘Aud” yang berarti kembali dan berulang. Dinamakan “Al ‘Ied” karena pada hari tersebut Alloh memiliki berbagai macam kebaikan yang diberikan kembali untuk hamba-hambaNya, yaitu bolehnya makan dan minum setelah sebulan dilarang darinya, zakat fithri, penyempurnaan haji dengan thowaf, dan penyembelihan daging kurban, dan lain sebagainya. Dan terdapat kebahagiaan, kegembiraan, dan semangat baru dengan berulangnya berbagai kebaikan ini. (Ahkamul ‘Iedain, Syaikh Ali bin Hasan).

Perlu diperhatikan, saat ini telah menyebar di kalangan masyarakat, bahwa makna “Iedul Fitri” adalah kembali kepada fitroh (suci) karena dosa-dosa kita telah terhapus. Hal ini kurang tepat, baik secara tinjauan bahasa maupun istilah syar’i. Kesalahan dari sisi bahasa, apabila makna “Iedul Fitri” demikian, seharusnya namanya “Iedul Fithroh” (bukan‘Iedul Fitri). Adapun dari sisi syar’i, terdapat hadits yang menerangkan bahwa Iedul Fitri adalah hari dimana kaum muslimin kembali berbuka puasa.

Dari Abu Huroiroh berkata: “Bahwasanya Nabi shollallohu’alaihi wa sallam telah bersabda: ‘Puasa itu adalah hari di mana kalian berpuasa, dan (’iedul) fitri adalah hari di mana kamu sekalian berbuka…’” (HR. Tirmidzi dan Abu dawud, shohih) (Majalah As Sunnah 05/I, Ustadz Abdul Hakim). Oleh karena itu, makna yang tepat dari “Iedul Fitri” adalah kembali berbuka (setelah sebelumnya berpuasa).

Pensyariatan ‘Ied (hari raya) Adalah Tauqifiyyah
Hari raya (tahunan) yang dimiliki oleh kaum muslimin, hanya ada dua, yaitu ‘Iedul Fitri dan ‘Iedul Adha. Adakah hari raya yang lain?
Jawabnya: tidak ada. Karena pensyariatan hari raya merupakan hak khusus Alloh ‘azza wa jalla. Suatu hari dikatakan hari raya apabila Alloh menetapkan bahwa hari tersebut adalah hari raya (’Ied). Namun, jika tidak, kaum muslimin tidak diperkenankan merayakan atau memperingati hari tersebut.

Alasannya adalah hadits Rosulullohshollallohu’alaihi wa sallam yang diriwayatkan dari Anas rodhiyallohu ‘anhu bahwa beliau berkata, “Rosululloh shollallohu’alaihi wa sallam datang ke Madinah dan (pada saat itu) penduduk Madinah memiliki dua hari raya yang dipergunakan untuk bermain (dengan permainan) di masa jahiliyyah. Lalu beliau bersabda: ‘Aku telah datang kepada kalian, dan kalian memiliki dua hari yang kalian gunakan untuk bermain di masa jahiliyyah. Sungguh Alloh telah menggantikan untuk kalian dua hari yang lebih baik dari itu, yakni hari Nahr (’Iedul Adha) dan hari fitri (’Iedul Fitri).” (HR. Ahmad dan Abu Dawud, shohih)

Dua hari raya yang dimiliki penduduk Madinah saat itu adalah hari Nairuz dan Mihrojan, yang dirayakan dengan berbagai macam permainan. Kedua hari raya ini ditetapkan oleh orang-orang yang bijak pada zaman tersebut karena cuaca dan waktu pada saat itu sangat tepat/bagus. (Ahkamul ‘Iedain, Syaikh Ali bin Hasan). Tatkala Nabi datang, Alloh mengganti kedua hari tersebut dengan dua hari raya pula yang Alloh pilih untuk hamba-hamba-Nya.

Sejak saat itu, dua hari raya yang lama tidak diperingati lagi. Berdasarkan hal ini, pensyariatan hari raya adalah tauqifiyyah (sesuai dengan perintah Alloh). Seseorang tidak diperbolehkan menetapkan hari tertentu untuk perayaan/peringatan kecuali memang ada dalil yang benar dari Alloh (Al Qur’an) maupun Rosul-Nya (Al Hadits). Sehingga tidak benar, apa yang dilakukan sebagian besar kaum muslimin saat ini, dengan melakukan berbagai macam peringatan/perayaan yang sama sekali tidak ada tuntunannya. Di antaranya: peringatan/perayaan maulid Nabi, Isro Mi’roj, Nuzulul Quran, hari Kartini, hari ibu, dan hari ulang tahun.

wallahuta'ala 'alam....

smoga bermanfaat
------------------------

Penulis: Adid Adep Dwiatmoko
Muroja’ah: Ustadz Aris Munandar
Artikel www.muslim.or.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar