Bertakhaluq Dengan Syeikh
Meskipun seorang gurunya (syeikh) telah meninggal, tetapi sang murid tetap mempunyai hubungan bathin. Dengan bertakhaluq(berpegangan) kepada guru-gurunya, Habib Hadi senantiasa dibimbing untuk mensyiarkan dakwah
Setiap Ahad, ratusan kyai dan ustadz dari berbagai pelosok daerah Malang mengikuti pengajian rutin di majelis Ahlussunah Wal Jama’ah (Aswaja) di Jl Kayu Tangan, dekat alun-alun Kota Malang yang diasuh oleh KH Abdullah Iskandar. Pengajian ini di belakang hari banyak dipimpin Habib Hadi bin Alwi Al-Kaff, karena KH Abdullah Iskandar sudah sepuh.
Habib Hadi adalah guru dan ustadz tempat bertanya yang cukup terkenal sebagai mubalig pada berbagai pengajian di Malang dan sekitarnya. Sosoknya hangat, dan enak diajak bicara tentang banyak hal. Bicaranya pelan, tapi teratur.
Hari-hari Habib Hadi juga diisi dengan mengisi pengajian dari kampung ke kampung di berbagai pelosok Kota Malang dan sekitarnya. Metode pengajiannya bukan hanya ceramah, tapi juga dialog. Seperti halnya kebanyakan ulama dan mubalig, masa kecil Habib Hadi sangat ketat dalam pendidikan agama. “Saya tidak pernah mengaji di pesantren. Ilmu agama saya peroleh berkat bimbingan langsung dari ayah dan ibu saya,” katanya lagi.
Dari dahulu sampai sekarang Habib Hadi dalam berdakwah juga tidak membeda-bedakan madzab dan medan dakwah. Ia berdakwah di berbagai kalangan. Bahkan di tempat Al-Irsyad di Bondowoso juga ia mengajar, karena merasa cocok dengan metode belajar yang disampaikan Habib Hadi. ”Saya mendapat dukungan oleh Ustadz Hasan Baharun (Bondowoso).”
Lahir di Malang, pada 29 Juni 1947, ia putra Habib Alwi bin Hasan Al-Kaff ke-16 dari 31 bersaudara. Ibundanya, bernama Syarifah Futum, putri dari Habib Abdurahman bin Ali bin Syekh Abubakar bin Salim. Jadi Habib Hadi masih termasuk cucu dari Habib Abdurahman bin Syekh Abubakar, seorang ulama yang terkenal sebagai ulama yang saleh dan perintis gerakan dakwah ke desa-desa sekitar Malang. Gerakan dakwah Habib Abdurahman ini dilanjutkan oleh menantu cucu beliau, Ustadz Habib Alwi bin Salim Alaydrus.
Habib Hadi mengenyam pendidikan Madrasah di Pondok Pesantren Darul Hadits Malang yang diasuh oleh Habib Abdul Qadir bin Ahmad Bilfagih dari tahun 1953 sampai tahun 1967. Habib Hadi sebenarnya punya kesempatan untuk belajar di Madinah (Saudi) namun, karena Pemerintah Republik Indonesia pada waktu itu melarang pelajar Indonesia untuk berangkat ke Saudi, kecuali yang mempergunakan beasiswa pemerintah.
Akhirnya ia mengaji ilmu Nahwu (tata bahasa Arab) selama kurang lebih dua tahun (1967-1969) secara private kepada Habib Abdurahman bin Muhammad Mauladawilah di rumahnya, di samping masjid Al-Huda, Malang setiap usai shalat Subuh. Kitab yang diajarkan pada waktu itu adalah Jumriyah, Syarh Ibn Dahlan, Kafrowy dan Kawakib.
Selain belajar pada Habib Abdurahman, pada tahun itu juga Habib Hadi belajar secara private kepada Habib Alwi bin Salim Alaydrus. Habib Hadi mengaku sangat terkesan dengan metode mengajar dari Habib Alwi, “Beliau adalah seorang guru yang alim, luas, tawadhu’ lagi bijaksana. Pernah beliau mendengar ada yang mengatakan bahwa, ’Hadi Al-Kaff tidak punya Syeikh (guru pembimbing)’. Beliau spontan marah seraya berkata,’Katakan pada mereka bahwa,’saya adalah Syeikh dari Habib Hadi’.
Mendengar pengakuan dari Habib Alwi bin Salim Alaydrus, Habib Hadi bin Alwi Al-Kaff sangat gembira atas pernyataan tersebut. Ustadz Alwi juga berpesan kepada Habib Hadi untuk lebih memantapkan hatinya, ”Kalau kamu takhaluq (berpegangan dengan guru, biasanya seorang syekh) ini insya allah, kamu akan dibimbing. Meskipun seorang guru (syeikh) itu telah meninggal. Jadi seorang murid tetap punya hubungan bathin.”
Setelah gagal berangkat ke Saudi, Habib Hadi kemudian menyibukan diri bekerja membantu ayandanya ke Lombok (Nusa Tenggara Barat) sampai tahun 1974. Baru pada tahun 1975 ia berangkat ke Saudi dengan diantar langsung oleh Habib Muhammad bin Ahmad Alaydrus di Madinah. Sayang, saat itu tahun ajaran baru sudah dimulai. Ia akhirnya disuruh menunggu beberapa bulan sampai menunggu tahun ajaran baru. Habib Hadi akhirnya belajar bahasa Inggris di American School. Karena kesibukan kerja antara 1976-1979, akhirnya Habib Hadi tidak sampai berfikir lagi untuk menuntut ilmu di Madinah.
Pada tahun 1979 ia pindah ke Khobar, di kota yang terletak belahan utara Mekkah itu ia mengumpulkan jama’ah dari pekerja-pekerja yang dari Indonesia untuk belajar agama dan sesekali rutin membaca maulid. “Alhamdulilah, sembari bekerja juga bisa belajar sendiri dan juga mendatangi pengajian,”
Selama di Saudi, ia belajar sendiri dengan bertakhaluq kepada Habib Abdul Qadir bin Ahmad Bilfagih, Habib Alwi bin Salim Alaydrus dan Habib Abdurrahman bin Muhammad Mauladawilah. Sekalipun belajar sendiri, Habib Hadi juga terkadang menghadiri acara-acara keagamaan yang digelar di Saudi, seperti peringatan maulid, Khataman Bukhari, silaturahmi halal bi halal dan lain-lain.
Pada tahun 1992, ia mau pulang ke Indonesia. Saat itu tanggal 27 Ramadhan ada khatam Bukhari di Masjid Nabawiy, datang para Habaib dari sekitar Saudi. Selepas shalat Ashar ada pengajian Habib Soleh Al-Muhdor. Acara ini tergolong acara yang beasr karena banyak dihadiri ulama-ulama besar seperti Syekh Abdul Qadir bin Ahmad, Sayid Maliki, Habib Zein bin Smith dan dari luar Saudi pun banyak yang hadir.
Kebetulan saat itu Habib Hadi datang bersama salah satu teman akrabnya yakni Habib Hasan bin Abdullah Som Assegaff. Habib Hasan sudah lama tinggal Saudi, sehingga ia banyak mengenalkan Habib Hadi dengan para Habaib yang hadir selepas shalat Magrib. Salah satu diantaranya adalah berkenalan dengan Habib Alwi Bilfagih (pengarang kitab-kitab sejarah dan nasab).
Saat itu Habib Alwi saat itu juga sedang mengajar kepada murid-muridnya dan juga ada seorang tua yang sedang menulis. Habib Hasan Som kemudian mengenalkannya kepada Habib Alwi Bilfagih, ”Ini Hadi Al-Kaff dari Malang.”
Kemudian Habib Alwi menyalami Habib Hadi. “Kenal Habib Abdullah bin Abdul Qadir Bilfagih dari Malang?” tanya Habib Alwi kepada Habib Hadi.
“Itu adalah guru saya,” kata Habib Hadi.
“Syeikhi? (gurumu)?” tanyanya dengan penuh keterkejutan.
“Saya adalah murid dari Syeikh Abdul Qadir bin Ahmad Bilfagih,” kata Habib Hadi kepada Habib Alwi.
“Tunggu dulu,” kata Habib Alwi terburu-buru kepada Habib Hadi dan Habib Hasan untuk jangan beranjak dari majelis, karena ia akan menyelesaikan urusan dengan orang tua yang duduk tidak jauh dari mereka bertiga.
Tidak berapa lama kemudian, Habib Alwi kembali lagi dan kemudian berkata kalau Habib Abdul Qadir adalah saudara dekatnya. “Itu adalah saudara ayah saya, tapi saya belum jumpa,” katanya.
Kemudian Habib Alwi memaksa tangan Habib Hadi, ”Mana tanganmu?”
Lalu Habib Hadi karena dipaksa kemudian memberikan tangannya untuk dicium oleh Habib Alwi. Artinya, Habib Alwi sangat menghormati Habib Abdul Qadir sampai sedemikian rupa, sampai-sampai salah satu muridnya yang pernah pernah belajar kepada Habib Abdul Qadir pun diciumnya.
Sampai di hotel, Habib Hadi bertanya pada Habib Hasan Som,”Tadi, orang tua yang bertubuh kurus dan duduk di majelis Habib Alwi itu siapa?”
“Itu adalah Habib Zein bin Smith (Medinah),” kata Habib Hasan Som.
Habib Hadi tentu terkejut, karena Habib Zein bin Smith ternyata sedang belajar kepada Habib Alwi Al-Kaff yang baru ditemuinya.
Setelah hari kedua lebaran, para habaib mengadakan silaturahim di hotel Haramain. Setelah acara, Habib Hasan Som mengenalkan lagi Habib Hadi pada yang hadir, termasuk kepada Habib Zein bin Smith. “Ini Habib Hadi Al-Kaff, tholib ilm’,” kata Habib Hasan.
“Di mana kamu belajar?” tanya Habib Zein bin Smith kepada Habi Hadi Al-Kaff.
“Saya tidak belajar. Saya bekerja di Khobar,” jawab Habib Hadi.
Habib Hasan Som berkata lagi, ”Dia belajar sendiri di rumahnya.”
“Tidak boleh. Kalau belajar agama tidak bisa belajar sendiri kecuali dengan belajar kepada syeikh (untuk membimbing). Kalau kamu belajar ilmu umum, seperti bumi, sejarah, kamu bisa belajar sendiri,” kata Habib Zein.
Habib Hadi terdiam, tapi Habib Hasan Som berkata lagi kepada Habib Zein,”Ya Habib, ia dulu pernah belajar pada Habib Abdul Qadir Bilfagih.”
“Benar?” tanya Habib Zein.
“Ya Habib,” jawab Habib Hadi.
Habib Zein kemudian tertunduk sebentar, tidak langsung jawab. Kemudian ia berkata, ”Karena kamu sudah pernah belajar pada Habib Abdul Qadir bin Ahmad Bilfagih. Kamu boleh belajar sendiri,” kata Habib Zein kepada Habib Hadi.
Setelah mendapat bisayarah (isyarat kabar gembira) dari seorang alim. Habib Hadi semakin yakin, kalau selama ini dengan belajar sendiri mempelajari kitab-kitab salaf yang ada di sana masih dalam koridor bimbingan dari guru-gurunya, walaupun guru-gurunya itu telah lama wafat.
Setelah menetap lama di negeri Saudi, pada tahun 1992 ia pulang ke Indonesia. Saat itu ia tinggal di Jl Lontar Atas, Jakarta, sambil berdagang Habib Hadi juga berdakwah dari masjid ke masjid dan taklim di sekitar rumahnya selama kurang lebih lima tahun.
Pada tahun 1997, ia kemudian dipanggil sang mertua, Habib Ali bin Umar Baharun di Bondowoso untuk mengelola majelis taklim. Ia kemudian mengajar sekitar 4 tahun, beliau meninggal. Pada tahun 2002, ia berfikir untuk kembali ke Jakarta. Tapi saat singgah di Malang, Habib Hadi bertemu dengan Habib Muhammad bin Agil Ba’Agil pemimpin majelis taklim Al-Hidayah (Malang).
“Kebetulan kamu datang, sekarang saya serahkan majelis taklim ini kepada kamu,” kata Habib Muhammad.
“Ya, Habib. Sekarang saya di Bondowoso,” kata Habib Hadi.
“Kamu pindah ke Malang,” perintah Habib Muhammad.
Karena teman akrab, satu kelas di Darul Hadits akhirnya Habib Hadi mulai tahun 2002 mulai tinggal di Malang pengasuh Majelis Taklim Al-Hidayah. Majelis Taklim Al-Hidayah sendiri diketuai oleh Habib Agil bin Agil Ba’agil, Habib Ali Haidar Al-Hamid.
Habib Hadi di Kota Apel itu juga mengasuh Majelis Taklim Al-Mukhlisin tiap malam minggu ba’da Magrib (ibu-ibu) dan selepas Isya (untuk bapak-bapak). Acara berlanjut selepas Subuh. Ia juga masih mengajar tafsir Jalalain dan An-Nashoih Diniyah di Madrasah yang didirikan oleh Ustadz Alwi bin Salim Alaydrus di Bumiayu (Malang) seminggu tiga kali; Sabtu, Senin dan minggu. Selain itu ia mengajar di masjid-masjid di sekitar Malang.
Ia sebenarnya sering diminta mengajar di Pesantren Darul Lughah Wa’Da’wah (Bangil, Pasuruan) dan Darut Tauhid, tapi selama ini masih sangat berat. “Soalnya, waktunya pagi. Itu berat sekali, karena kalau malam sudah habis untuk berdakwah sehingga jarang tidur,” kata Habib Hadi.
Ia juga sering diminta oleh teman-temannya untuk menterjemahkan Shahih Sifatu Sholatul Rasulullah SAW Mina Takbir Wa Taslim Ka’anaka Tanduru ilaya (sifat shalat Rasulullah SAW sejak takbir hingga salam seolah-olah kamu menyaksikan sendiri) karangan Habib Hasan bin Ali Assegaff (Yordania). Sudah banyak orang meminta untuk menterjemahkan kitab yang sering dibawakannya. ”Insya Allah, kalau ada waktu tepat akan segera diterbitkan,” katanya.
AST/Ft. AST
Caption:
1. Lead
2. Habib Hadi sedang berceramah. Bertakhaluq dengan syeikh
3. Dalam perjalanan berdakwah. Tak kenal cuaca dan medan dakwah
4. Berfoto bersama dengan jama’ah. Sosoknya hangat dan ramah
5. Sedang memimpin doa. Tak membeda-bedakan madzab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar